
Oleh : Dr.H.Budiman DT.Malano Garang, SAg.MM.
A. Pendahuluan
Hadirnya UU 17 tahun 2022 tentang ABS SBK adalah sejarah baru bagi Minangkabau Sumatra Barat.
UU ini adalah Pengakuan Pemerintah pusat terhadap keistimewaan adat dan budaya Minangkabau Sumatera Barat dengan Filosofinya yang khas yaitu Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabulllah.
UU No. 17/2022 tentang Provinsi Sumatera Barat (Pasal 5 huruf c) terkait Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dan implikasi praktisnya bagi pemerintahan Sumbar — dengan dasar hukum dan rujukan berita/analisis. Saya sertakan poin-poin tindakan yang perlu dilakukan pemprov/pemda serta potensi risiko yang harus diantisipasi.
Inti ketentuan UU 17/2022 tentang Sumatera Barat
UU No.17/2022 secara eksplisit menetapkan bahwa KARAKTERISTIK Provinsi Sumatera Barat adalah
ADAT DAN BUDAYA Minangkabau berdasarkan falsafah ABS-SBK (diatur dalam Pasal 5 huruf c dan penjelasan UU).
ABS SBK maksudnya adalah bahwa Masyarakat Minangkabau Sumatra Barat Landasan dan pedoman hidupnya adalah Syariat Islam dan Syariat Islam berpedoman kepada Alquran dan Sunnah. Hal itu ditegaskan dalam perjanjian sumpah sati bukik Marapalam dengan kalimat pengunci ” SYARAK MANGATO ADAT MAMAKAI”
B. Kewajiban sinkronisasi kebijakan daerah dengan nilai ABS-SBK
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dipandang perlu menyesuaikan kebijakan publik (perencanaan pembangunan, pendidikan, budaya, regulasi lokal) agar selaras dengan karakteristik yang diakui UU. Artinya: rancangan peraturan daerah (Perda), program budaya, dan kebijakan administratif harus mempertimbangkan nilai ABS-SBK.
C. Kebutuhan Peraturan Turunan dan Institusionalisasi
Agar ketentuan normatif UU berfungsi, diperlukan Perda/Peraturan Gubernur/Peraturan Daerah yang merinci implementasi (mis. pengakuan peran ninik mamak, bundo kandung, ulama, pengaturan nagari). Sampai beberapa tahun setelah pengesahan, implementasi operasional masih dinilai belum memadai — belum banyak Perda turunan yang disusun. Ini menuntut inisiatif legislatif dan administrasi.
D. Penguatan peran nagari dan lembaga adat dalam tata pemerintahan lokal
UU mendorong pengakuan aturan adat “salingka nagari” — sehingga pemerintahan daerah perlu menjembatani hubungan antara struktur pemerintahan formal dan kewenangan adat (konsultasi, partisipasi, pelibatan dalam pengambilan keputusan lokal).
E. Dampak pada kebijakan publik: pendidikan, sosial, budaya, layanan publik
Kurikulum lokal, program pemberdayaan, kebijakan acara publik dan perlindungan situs/budaya akan diarahkan agar sesuai dengan ABS-SBK. Pemerintah harus menata anggaran untuk pelestarian budaya, pelatihan SDM adat, dan program sosialisasi.
F. Potensi masalah hukum-konstitusional dan HAM yang perlu diantisipasi
Pengakuan politik identitas budaya-agama wajib dijalankan dengan memperhatikan prinsip kesetaraan warga negara dan konstitusi (UUD 1945). Ada kekhawatiran publik tentang kemungkinan tafsir yang menyempitkan kebebasan atau menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas (etnis/religius) — sehingga implementasi harus berhati-hati dan berbasis hukum nasional. (analisis media dan akademis membahas potensi ini).
G. Rekomendasi konkret untuk Pemerintah Provinsi Sumbar
- Segera susun RANPERDA/RANPERGUB turunan yang jelas — butir implementasi: definisi operasional ABS-SBK, ruang lingkup, mekanisme pelibatan lembaga adat, mekanisme pengawasan kesesuaian dengan hukum nasional. (mengatasi keluhan belum adanya perda turunan).
- Bentuk forum koordinasi formal (pemprov, DPRD, ninik mamak, ulama, perwakilan minoritas, akademisi) untuk merumuskan pedoman implementasi dan menyelesaikan potensi konflik nilai.
- Audit regulasi daerah: tinjau semua Perda/Perkada yang berpotensi tumpang tindih atau bertentangan dengan prinsip HAM/konstitusi; perbaiki bila perlu.
- Program kapasitas dan sosialisasi: pelatihan SDM adat, aparatur pemerintahan, serta kampanye publik yang menjelaskan ruang lingkup ABS-SBK agar tidak terjadi miskomunikasi.
- Anggaran pelestarian Adat, budaya & litigasi preventif: alokasikan dana untuk pelestarian situs budaya, pendidikan tradisi, dan siapkan tim hukum untuk antisipasi judicial review bila ada pihak yang merasa dirugikan.
H. Tantangan
Belum adanya regulasi pelaksana → UU jadi simbolik tanpa implementasi (laporan jurnal/berita menyoroti hal ini).
Resiko tafsir eksklusif → perlu batasan jelas agar ABS-SBK tidak dipakai sebagai dasar diskriminasi atau aturan yang bertentangan dengan hak konstitusional.
Kerumitan pengintegrasian lembaga adat ke birokrasi modern — perlu model tata kelola baru agar tidak tumpang tindih kewenangan.
I. Kesimpulan
UU No.17/2022 secara hukum mengakui ABS-SBK sebagai karakteristik resmi Provinsi Sumatera Barat, sehingga menuntut adaptasi kebijakan publik dan pembentukan regulasi daerah yang merinci implementasinya. Implikasi paling nyata adalah kebutuhan penyusunan perda/peraturan pelaksana, penguatan lembaga adat dalam tata kelola lokal, penyesuaian program pembangunan dan pendidikan, serta kehati-hatian untuk memastikan implementasi tidak melanggar hak asasi atau konstitusi. Beberapa pihak sudah mengingatkan bahwa sampai beberapa tahun pasca-UU, implementasi masih perlu dipercepat dan dirumuskan lebih rinci.

