Oleh: Andes Robensyah, S.H.,M.H
Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera barat (UISB)
Dalam semangat pembaharuan hukum pidana di Indonesia salah satunya membahas mengenai pembaharuan KUHP, yang mana KUHP yang masih eksis sekarang merupakan KUHP peninggalan Belanda yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Dalam semangat Pembaharuan Hukum Pidana tersebut berujung pada terbentuknya KUHP Nasional, yaitu UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana, yang disahkan melalui rapat paripurna DPR RI pada tanggal 6 Desember 2022 yang lalu, dan ditanda tangani oleh presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Januari 2023, yang mana KUHP baru ini mulai diberlakukan setelah 3 (tiga) tahun UU ini diberlakukan sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 624 tepatya 2 Januari 2026 yang akan datang.
Pembaharuan KUHP pada dasarnya adalah keinginan dalam membuat ketentuan hukum pidana yang diharapkan benar-benar mewakili aspek filosofis, sosiologis masyarakat Indonesia. Megutip apa yang disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa KUHP Indonesia yang baru ini tidak lagi berorientasi dengan hukum pidana klasik, yang berparadigma bahwa hukum pidana itu bersifat retributif (sarana balas dendam), akan tetapi ketentuan pidana dalam KUHP sudah berorientasi dengan paradigma hukum pidana yang modern, yang lebih mengedepankan aspek keadilan kolektif, restoratif, dan rehabilitatif.
Ada yang menarik dalam KUHP Nasional atau KUHP Baru ini, yaitu diakuinya Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat sebagai salah satu dasar hukum untuk menjatuhkan pidana. Ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai sumber hukum, tertulis jelas dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2023 yang berbunyi “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat sebagaimana dimaksud berlaku Dimana tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam KUHP yang sesuai denga nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui oleh Masyarakat bangsa-bangsa.
Kemudian yang dimaksud dengan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat ini telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat adalah Hukum Adat, yang mana berkaitan dengan hukum yang tidak tertulis akan tetapi hukum itu masih berlaku dan berkembang dalam masyarakat di Indonesia, jadi sudah jelas bahwa yang dimaksud sebagai Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat dalam KUHP Baru ini adalah Hukum Adat. Kemudian juga keberlakuan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat ini yaitu Hukum Adat sebagai sumber hukum dalam KUHP hanya berlaku untuk tindak pidana ringan.
Terdapat teori yang menjelaskan mengenai hukum yang hidup, salah satunya dikemukakan oleh Eugen Ehrlich dengan istilah Living law yang dijadikan sebagai lawan daru State Law (hukum positif tang tertulis yang dibuat oleh negara). Eugen Ehrlich dikenal sebagai pembentuk ilmu hukum sosiologis (Sosiological Jurisprudence), yang dikembangkan sebagau usaha untuk membuktikan teori bahwa titik berat dari perkembangan hukum bukanlah terletak pada perundang-undangan dan juga putusan-putusan pengadilan ataupun ilmu pengetahuan dibidang hukum, akan tetapi titik berat perkembangan hukum terletak dalam masyarakat itu sendiri. Eugen Ehrlich menganjurkan untuk terciptanya keseimbangan dalam kehidupan berbangsa mengenai pembaharuan hukum dalam suatu negara yang ditetapkan melalui perundang-undangan, maka haruslah memperhatikan hukum dan kenyataan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, dengan itu hal yang harus diperhatikan agar undang-undang yang dibuat dapat berjalan dengan efektif di tengah-tengah kehidupan masyarakat harus memperhatikan hukum yang telah hidup (living law) dalam masyarakat tersebut.
Kembali ke dalam KUHP Nasional atau KUHP Baru yaitu UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana telah dituliskan mengenai keberlakuan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat, dan telah dijelaskan pula bahwa maksud dari Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat itu sendiri adalah Hukum Adat, secara tidak langsung KUHP Nasional atau KUHP baru ini telah meminta secara formal agar setiap daerah dimana terdapat hukum adat hidup agar dapat dijadikan sebagai sumber hukum pidana sepanjang tidak diatur dalam KUHP ini, dan hukum itu masih berlaku dan berkembangang dalam masyarakat tersebut dan tidak bertentangan dengan nilai Pancasila, UUD 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Sebagaimana apa yang dijelaskan di atas, pada saat ini merupakan peluang dan kesempatan terhadap daerah-daerah untuk mengeksiskan kembali hukum-hukum adat, terkhusus mengenai hukum pidana yang bersifat ringan agar dapat eksis kembali dan dikenal kembali oleh generasi-generasi muda agar dapat lebih paham dan menjalakan kembali Hukum Adat yang hidup dan masih berkembang di daerah-daerah masing-masing.
Kemudian juga sebagai usaha untuk menghimpun kembali hukum-hukum adat, terkhusus mengenai hukum pidana, sebagaimana penjelasan Pasal 2 UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwasanya untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut. Oleh karena itu UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah memberikan amanat bahwa daerah-derah dapat menghimpun mengenai Tindak Pidana adat untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, dan pentingnya Tindak Pidana adat tersebut dihimpun dari sekarang ke dalam Peraturan Daerah masing-masing.